Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Minggu, 13 Maret 2011

Sang Pencinta Hujan

by Orinthia Lee

Tahukah kau bahwa gemericik suara tetesan air hujan selalu mengingatkan aku tentangmu? Semua kenangan yang pernah kita lalui bersama selalu muncul tiap kali hujan turun membasahi jendela kamarku. Seperti film yang diputar ulang; senyummu, kehangatanmu dan juga setiap kata-kata yang pernah kau ucapkan terbayang jelas saat aku pejamkan mataku di bawah siraman hujan. Setiap kali itu pula aku diingatkan bahwa kamu tak pernah benar-benar meninggalkan aku.

***

"Ngapain diam di situ?"

Aku menghentikan derap kakiku yang berlari di atas aspal becek. Hujan sedang turun begitu deras hingga sebentar saja seragam dan tas sekolahku basah kuyup. Semua orang yang tadinya duduk-duduk di taman sekolah sudah berlarian mencari tempat berteduh.

Kecuali satu orang.


Dia yang membuatku berhenti berlari dan melupakan keinginan untuk berlindung dari siraman hujan. Orang itu berdiri membelakangiku. Tubuhnya tinggi dan kurus; aku bisa melihatnya dari panjang tungkai kaki di balik celana panjang abu-abunya. Jaket putih bertudung menutupi badan dan juga kepalanya. Aku tertarik hingga melangkah mendekatinya. Samar-samar, indra pendengarku menangkap senandung merdu di tengah ributnya suara hujan. Orang itu sedang bernyanyi. Dengan wajah menantang langit dan tetes hujan tanpa ampun menyirami, orang itu terus bernyanyi.

Tudung putih yang menutupi kepala sosok itu kemudian jatuh karena beratnya air; menampakkan rambutnya yang sama hitam dengan langit malam.

"Hei, kenapa nggak berteduh?" aku bertanya, setengah berteriak agar suaraku terdengar olehnya. "Lo Michael, kan? Murid pindahan yang baru masuk kemarin?"

Orang itu akhirnya menurunkan kepalanya, menghentikan nyanyiannya lalu menoleh dan menatapku dengan sepasang mata coklatnya yang teduh.

"Emangnya salah kalau gue nggak berteduh?"

"Ya, nggak salah... tapi aneh aja dilihatnya."

"Lo sendiri nggak berteduh. Berarti... lo sama anehnya sama gue."

Aku terdiam mendengar kata-katanya lalu tanpa bisa menahan, aku tertawa. Michael pun tertawa bersamaku. Sejak hari itu, aku dan Michael bersahabat. Kami tak terpisahkan.

***


“Gue penasaran, deh. Kenapa, sih lo suka banget sama hujan?” tanyaku pada suatu hari ketika kami sedang duduk-duduk berdua di dalam kelas memandangi jendela yang mulai dipenuhi bintik-bintik air karena tetesan gerimis di luar; mengabaikan guru fisika yang sedang berceloteh di depan kelas.

Michael menoleh dan memandangku dengan segaris senyum tipis di wajahnya. “Tumben nanya,” ujarnya. “Jadi nggak boleh, nih?” Aku cemberut. Sudah tiga bulan kami bersahabat dan sudah berkali-kali aku menangkap basah Michael berdiri di tengah hujan seperti saat pertemuan pertama kami dulu. Dengan nyanyian yang sama. Dengan ekspresi yang sama. “Pliiiiis… gue penasaran banget, nih,” ujarku memohon-mohon.

“Sssst… jangan keras-keras kenapa? Nanti ditimpuk kapur sama Pak Rido baru tahu,” Michael membekap mulutku. “Emang kapan gue bilang nggak boleh nanya? Gue tadi cuma bilang tumben, kok.”

Setelah aku mengangguk, Michael melepaskan bekapannya dan memalingkan muka lalu menunduk. “Gue suka hujan karena hujan selalu memberi keberuntungan buat gue,” ujarnya kemudian seraya menegakkan kembali tubuhnya dan memandangku. “Salah satunya…,” Michael meletakkan ujung telunjuknya di hidungku, “…elo.”

“Halah, gombal,” ujarku menggerutu sambil menepis jari telunjuknya dari hidungku. Meski begitu, aku tak bisa menyangkal kalau ada debar aneh dalam dadaku. Buru-buru aku membuang muka, pura-pura sibuk mencatat rumus-rumus fisika di bukuku untuk menyembunyikan semburat merah jambu di pipi.
Aku bisa mendengar dengus geli Michael di sebelahku dan spontan aku menoleh lagi ke arahnya dengan mata melotot dan bibir mengerucut maju seperti bibir gurita.

Detik itu juga, tepat saat aku menoleh, Michael mendekatkan wajahnya ke wajahku, tangannya memegang rambutku dan momen berikutnya saat mataku berkedip,  Michael mencium bibirku. Kejadiannya begitu cepat. Saat aku mengedipkan mata lagi, Michael sudah melepasku dan bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi. Untunglah kami duduk di bangku paling belakang. Tak ada seorang pun yang melihat kejadian barusan—seharusnya.

Bel penanda jam istirahat pun berdering.

“Itu hukuman karena lo bilang gue gombal,” ujar Michael seraya bangkit berdiri dari kursinya. Aku masih terdiam. Kedua tanganku menutupi bibirku. Aku merasakan hangat menjalar dari debar jantungku menuju ke kepala. Rasanya waktu berhenti di tempatku. Pikiranku kosong. Aku bahkan tak bisa berkata-kata untuk membalas kata-kata Michael ataupun bereaksi pada ciuman barusan.

“Bumi memanggil Nina. Halooo?”

Tangan Michael yang terkibas di depan mataku membuatku tersadar. Aku menelan ludah dengan gugup, mencoba untuk tersenyum seperti biasa tapi gagal. Ekspresi wajahku malah datar dengan kedua alis bertaut. Lebih terlihat seperti orang marah, mungkin. “Lo ngapain, sih? Udah gila, ya pakai cium-cium segala?” Bahkan mulutku pun bekerja sama dengan wajahku. Aku tak berani memandang Michael. Michael pun sepertinya terkejut dengan reaksiku sehingga tangannya yang nyaris merangkulku seperti biasa terhenti di udara.

“Gue… Gue cuma becanda kali,” ujar Michael kemudian sambil tertawa. “Lo serius banget nanggepinnya. Kayak bukan lo aja.” Tangannya kemudian mendorong pelan pundakku.

Bagai dipukul dengan palu godam imajiner, dadaku mendadak terasa sangat sakit. “Oh… becanda, ya?” Aku bisa mendengar suaraku mendesis lirih, terbakar oleh amarah. “Candaan lo nggak lucu!”

Kutepis tangannya dari pundakku dan aku berlari keluar dari kelas. Awalnya kupikir Michael pasti mengejarku tapi ternyata sampai aku berada di luar sekolah, aku tak melihatnya.

Aneh. Kenapa aku merasa kecewa?

***

“Nina. Ada Michael di bawah, tuh. Dia bawain tas kamu dari sekolah.”

Suara Ibu terdengar dari balik pintu. Aku diam. Kupandangi jendela kamarku yang basah oleh bintik-bintik hujan yang semakin deras dan langit sore yang mendung di luar sana.

“Nina? Kamu  nggak mau turun dulu nemenin Michael?”

Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur lalu kuhampiri pintu dan membukanya sedikit.

“Suruh dia pulang saja, Bu,” ujarku dengan suara serak. “Aku sedang tak enak badan.” Kuterima tas sekolahku yang diulurkan ibu ke dalam kamar lalu kututup pintu kembali setelah meyakinkan ibu bahwa aku baik-baik saja dan hanya perlu tidur. Aku mengunci pintu lalu kembali ke tempat tidur, duduk di samping jendela, mengintip keluar. Ponselku kemudian berbunyi; sebuah SMS masuk. Michael.

“Nin, gue perlu ngomong sama lo. Penting. Gue bisa jelasin semua tentang siang tadi. Plis. 
Gue tunggu lo di taman kecil deket perempatan rumah lo.„

Aku mematikan ponselku dan menyimpannya dalam laci nakas. Kubaringkan tubuhku dan kutarik selimut menutupi tubuhku. Tak lama kemudian aku pun tertidur dengan wajah basah oleh airmata. Suara ketukan pintu yang keras membangunkan aku beberapa jam kemudian. Langit di luar begitu gelap dan hujan masih juga belum berhenti menghantam kaca jendelaku hingga bergetar. Aku berlari ke pintu ketika mendengar suara ibuku berteriak-teriak panik dan membukanya.

“Nin, Michael katanya belum pulang. Orang rumahnya kuatir sampai menelepon ke sini,” ujar Ibu dengan wajah pucat pasi. “Nin, Michael itu punya penyakit, Nin. Dia…”

Aku tak menunggu lebih lama lagi. Aku tahu kemana harus mencari Michael. Tanpa mengganti pakaianku, aku berlari melewati Ibu, kuturuni undakan anak tangga dan berlari keluar dari rumah menuju ke taman tempat Michael berkata akan menungguku. Dadaku bergemuruh karena debar jantungku yang begitu cepat. Sakit, katanya? Sakit apa?

“MICHAEL!?” Kedua mataku terbelalak ketika kulihat dia terkulai lemah di bangku yang ada di taman itu. Aku berlari menghampirinya. “Michael?” Aku mengguncang tubuhnya. Kedua mata itu tertutup rapat, bibir yang sempat menciumku kini sepucat kertas. “Michael, lo kenapa?!”

Kurasakan kemudian tanganku digenggam olehnya. Tangan yang biasanya hangat itu kini begitu dingin. “Michael? Lo bangun?” Aku balas menggenggam tangannya dan perlahan kedua kelopak mata itu terbuka, menatapku dengan lemah.

“Akhirnya lo dateng, Nin,” Michael tersenyum lemah. “Gue minta maaf soal tadi siang.” Suara itu begitu lemah dan rapuh. “Gue udah maafin lo,” ujarku cepat. “Lo harus gue bawa ke rumah sakit sekarang.” Aku panik, berusaha mengangkat tubuh Michael tapi ternyata aku tak sanggup. “Tunggu di sini, gue cari bantuan.”

“Jangan. Percuma,” Michael menarik tanganku. “Nin, gue suka sama lo. Gue nggak becanda soal ciuman itu.”

“Kenapa lo masih di sini? Kenapa lo nggak pulang aja daritadi?” tanyaku frustrasi.

“Gue udah bilang, kan? Hujan selalu memberi gue keberuntungan.” Michael tersenyum, aku menangis. “Keberuntungan? Kayak gini lo bilang beruntung?”

“Nin, lo juga suka sama gue, kan?”

Aku mengangguk walau tahu itu bukan waktu yang tepat untuk mengurusi hal semacam itu. Michael menarik tubuhku dan kurasakan kedua tangan itu melingkari tubuhku. “Kalau hujan turun, lo harus ingat gue ya, Nin.”
Sebuah kecupan mendarat lagi di bibirku lalu kedua tangan itu perlahan terkulai jatuh; melepasku; meninggalkan aku sendirian.

“Gue suka hujan karena hujan selalu memberi keberuntungan buat gue. Salah satunya… elo.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar