Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Senin, 14 Maret 2011

Just Mr. Raindrops

by: ghyna amanda

---

Katanya, ketika tetes air hujan pertama jatuh di atas hidungmu, maka orang yang kau sukai berarti menyukaimu juga.
Masa? Kupertanyakan hal tersebut secara pasti. Percaya tidak percaya, tentu saya tidak sama sekali. Setidaknya aku bukan seseorang dengan ilmu khayal setinggi Dia yang selalu merenung menatapi langit seakan mendoakan agar hujan cepat turun, kemudian menderu memecah keheningan berdiri dengan bodohnya sambil menengadahkan wajah menatap langit.
            Aku tahu dia tak bodoh, sungguh. Hanya seorang gadis berotak kecil yang tak jauh lebih kecil daripada otak udang. Berulang kali menyebutnya bodoh, menaruh tangan kecilku di atas rambutnya yang mengembang lurus agak ikal turun sampai permukaan bahu. Membuatnya memandangiku penuh tanya seakan berkata, ‘Aku tak bodoh’ yang kemudian hanya bisa diguratkan dengan sebuah senyum penuh rasa bangga atas pikiran imajinernya.
            Dia adalah gadis yang merebut hatiku entah sejak kapan. Sejak dirinya hanya seorang gadis kecil yang kemudian bergerak tak karuan di bawah derasnya hujan. Berpikir bahwa tetesan air yang jatuh dari atas sana adalah makhluk asing berwujud liquid yang hendak menginvasi bumi. Orang pintar mana yang tak kaget dengan gurauan macam itu? Hanya bisa tertawa. Sungguh, Dia adalah gadis super ajaib yang pernah kutemukan. Dari sekian banyak gadis di permukaan bumi ini, mungkin hanya dirinya gadis yang menganggap hujan sebagai musuh alih-alih teman seperjuangan.

            Bagiku hujan berarti merepotkan. Bukan karena aku takut kebasahan atau takut sakit jika terkena air hujan. Aku takut ketika Dia kembali merasa takut. Tawaku berbalas tangisnya saat itu. Dia berlindung di balik payung seakan hujan dapat menyakitinya seperti tetesan jarum. Aku tertawa, terus menertawakannya dan Dia terus menangis. Entah karena tawaku, atau karena hujannya.
            Hujan membuatku repot, menyusahkan karena hujan tak lekang membuatku menahan emosi untuk bisa mendekatinya.
            “Ck,” aku kembali menyalahkan awan mendung yang bergumul menandakan hujan yang mungkin akan kembali bertandang ke bumi.
            Dirinya ada di sampingku. Sama-sama menatap bagaimana kerumunan awan di atas sana, berkata seolah dengan hujan jalanan yang gersang bisa terbasahi, membuatku serba salah karena selain harus memisuh juga harus tetap berucap syukur.
            “Bukan begitu, tapi kalau hujan aku bisa susah,” menjawab kemudian mengalihkan pandangan. Aku bisa susah karena tak mampu untuk bisa menahan perasaanku. Rasanya sulit. Kami tak terbiasa bersama dalam waktu lama, obrolan singkat dan mungkin akan selesai sama seperti saat ini. Aku membuat segalanya runyam. Mungkin Dia telah lupa pada ketakutannya dengan serangan hujan ketika kami masih bocah kecil yang pandai berkhayal. Mungkin dirinya telah berubah menjadi gadis rasional yang tak ada bedanya dengan gadis lainnya. Aku menyangsikan hal tersebut, menyayangkannya karena kupikir akan lebih baik jika Dia tetap menjadi gadis imajiner yang hidup dalam pikiranku.
            Hujan benar datang dan aku tak mampu lagi melihatnya. Dari kejauhan sosok mungil itu kembali berlari menerobos kerumunan manusia, seakan mencari sesuatu yang akan turun dari langit. Hey, ini bukan hujan uang atau hujan emas, pikirku. Mengapa harus terburu-buru begitu?
            Merepotkan.
            Sudah kukatakan sejak awal, hujan membuatku susah, repot, tak bisa menahan asa untuk terus mengikutinya. Langkahku pasif, tak bisa kukendalikan. Berselimut payung kemudian kudekati dirinya, ingin melindunginya dari rasa takut yang mungkin kembali mendera. Sayang, rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa lain yang tak kumengerti. Aku hanya ingin melindunginya, bukan membuatnya jengkel akan tindakanku.
            “Kau bodoh ya?” Ujarku seperti biasa. Membuatnya memalingkan pandangan, menemukan dirinya yang kebingungan seperti biasa tiap kata itu terucap.
            “Ke-kenapa bodoh?” Menjawab kaku. Kupikir ya Dia bodoh. Dulu bilangnya takut pada hujan, namun sekarang sok berani menantang hujan. Mau berkelahi? Tentu saja tak mungkin menang. Lawannya adalah makhluk liquid yang jumlahnya tak terhingga. Tak bisa dihitung, sama seperti bagaimana perasaanku padanya.
            Ingin kuhujani dirinya dengan butir kasih tak terhingga seperti hujan, sayang kemudian butir kasih tersebut kalah dengan butir lain yang ia cari di angkasa sana. Mungkin benar, hujan uang?
            “Sudah tahu hujan malah tak pakai payung,” aku terus membalas. Namun tiap kali ingin melindunginya dari makhluk-makhluk liquid ini, Dia malah menyergahku berkata semua ini bukan urusanku. Bukan urusanku di bagian mananya? Jadi Dia lebih memilih bersama hujan ketimbang bersamaku?
            Sejenak aku limbung karena tatapannya sungguh sayu dan hampir membuatku ingin memeluknya. Gadis merepotkan, pikirku. Aku benar tak dapat membaca apa yang tengah diguratkan oleh benak imajinernya. Dia tak dapat terjangkau oleh otak rasionalku. Pikiran kami terbentur. Ketika aku berusaha mengikuti pikiran tak wajarnya, ia kemudian berbalik arah seakan menghindar dariku.
            Apa yang menjadi jawabnya kemudian?
            “Kalau kau nanti sakit bagaimana?” Kami terus berdebat. Antara apa yang menjadi urusanku dan apa yang bukan urusanku. Terus seperti itu. Berseru hingga dirinya benar menghindariku, membasahi tubuh di bawah tetes air yang dulu paling Dia  hindari. Inikah jawabannya? Aku terus bertanya, memertanyakan banyak hal padanya, pada Dia yang tak pernah bisa kumengerti.
            “Kau tak tahu selama ini aku bertarung menghadapi para makhluk penginvasi bumi dari ruang angkasa, mencari pemimpinnya tiap kali makhluk liquid itu datang untuk mendarat di atas hidungku karena apa?”
            Dia menjawabnya.
            Benaknya masih berada di alam lain yang jauh dari kata rasional. Bersama makhluk penginvasi bumi dari luar angkasa berbentuk liquid. Dia masih berusaha memerangi musuh terbesarnya, kah?
            Aku tak mengerti. Sungguh, tak akan pernah bisa mengerti sebelum baris kalimat selanjutnya kemudian membuatku hampir mati tertawa.
            “Untuk memastikan kabar gembira yang mungkin mereka bawa! Karena mereka bilang, jika titik air hujan pertama turun di atas hidungku artinya kau menyukaiku juga!”
            Aku?
            Tanyakanlah pada diriku sendiri. Dia menyerukan kata ‘kau’ untuk aku yang disukainya?
            “Hmp,” benar kan yang kubisa hanya kembali menahan tawa. Gadisku benar adalah gadis teraneh yang pernah kukenal. Jauh dari kata rasional orang normal pada umumnya. Dia hanya ada satu di dunia dan hanya satu milikku, kalau Dia mau.
            “Tuh kan kubilang apa,” berucap setengah tertawa. “Kau memang benar-benar bodoh!” Ujarku berseru sambil menepuk kepalanya ringan. Sungguh bodoh dan teramat bodoh. Gadis terbodoh yang pernah ada, pikirku.
            Aku melanjutkan. “Kalau satu tetes saja mengatakan aku suka padamu, bagaimana dengan tetesan yang lain?”
            Terdiam, mungkin sedang berpikir. Bagus kalau Dia bisa mengerti, kalau tidak jangan harap aku akan menjelaskan lebih banyak mengenai perumpamaan konyol ini. “Itu berarti kau amat menyukaiku?” Dan jawabannya tepat.
            “Itu kau tahu,” setengah memberikan cengiran. Karena kupikir Dia lebih bodoh daripada dugaanku. “Kau bodoh sih, jadi telat menyadarinya.”
            “Enak saja, aku ini pintar! Kalau tiap tetes air hujan menggambarkan perasaanmu, berarti keputusanku benar. Dengan hujan-hujanan begini aku bisa menggapai perasaanmu lebih-lebih-dan-lebih banyak!”
            Kali ini kuakui diriku yang bodoh. Dia benar. Tiap tetes air yang jatuh ke bumi adalah gambaran sebanyak apa perasaan yang bisa kutumpahkan padanya. Hanya sayang, gadis ini memang terlalu bodoh hingga tak bisa mengerti mana yang makna literal dan mana yang kiasan. Aku tak pernah menyuruhnya untuk membasahi diri untuk bisa mendapatkan lebih perasaanku. Tanpa perlu hujan turun pun aku bisa menghujani dirinya dengan rasa kasihku lebih dan lebih.

            Sayang...
            “Lantas apa yang kau lakukan sekarang?”
            Hanya bisa memerhatikan kelakuannya yang selalu berada di luar batas rasional orang normal. Setelah berusaha menggapai perasaanku dengan menghujani diri sendiri, kali ini?
            “Mengumpulkan rasa cintamu di dalam ember.”
            Haha, gadis pintar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar