Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Senin, 14 Maret 2011

Serupa Malam

by Brown Qeyaree

Siapa yang memutuskan pagi adalah awal? Siapa pula yang memutuskan malam adalah akhir? 

Bagiku pagi hanya formalitas, yang akan terus bangun ke permukaan langit tanpa jera. Dan malam terlahir hanya untuk mendampinginya, memberinya waktu untuk sejenak menidurkan sinarnya. Tapi aku tahu seseorang yang tidak menganggapnya begitu. 

Satu lagi malam kulewati, dan sekali lagi aku berusaha untuk menyibak selimut kegelapan yang menyelimuti bumi, hanya untuk melihat matahariku terbit. Tapi tidak. Pagi telah lama membuka matanya. Sinarnya menyusup anggun melewati bingkai jendelamu, meninggalkan bayang-bayang pucat di lantai kamarmu. Dan kau di sana. Wajahmu bahkan lebih pucat dari bayang-bayang itu.

Kalau memang pagi adalah awal, kenapa kau masih juga berkelana dalam mimpimu? Kenapa kau masih juga membiarkanku duduk diam dalam ruang kesunyian tanpa pijar dari bola matamu? Sambil terus menantimu berkata, ”Selamat pagi”.

Seharusnya aku tahu. Aku telah mengenalmu cukup lama untuk tahu bahwa kau orang yang adil. Selalu adil. Bahkan pada matahari dan bulan. Bagimu tidak ada hal yang dapat mengaturmu untuk apa pun. Tidak juga untuk bangun dan tidur. Tidak juga untuk menentukan mana yang awal dan mana yang akhir.

***

”Kau tahu?”

Hari itu kau genap 12 tahun dan alam seolah ikut merayakannya bersamamu. Langit mengenakan birunya yang terbaik dengan selaput tipis awan yang menggantung menghiasinya. Matahari tidak terhalang apa pun untuk menyampaikan cahayanya yang paling cemerlang, hanya untukmu. Bahkan malam juga mengistimewakanmu. Gaun kegelapan langit berkilau dalam rimba bintang, berpendar dalam keheningan yang kau cintai, ditemani bulan yang menjadi lentera pribadimu.


”Ayah memberikan tempat ini untukku!” Napasmu terengah-engah, dinginnya malam tak sanggup menahan peluh untuk membasahi wajahmu. Tapi aku tahu ada kebahagiaan yang tak terkira membuncah dalam dadamu. Terlalu besar untuk diungkapkan dalam kata, terlalu indah untuk ditorehkan dalam aksara. Tapi senyummu meneriakkannya dengan lantang. ”Dulu ini tempat bermain ayah saat kecil,” kau mulai bercerita.

Aku duduk di sampingmu, di bawah pohon besar yang memayungi kita dengan lengan-lengan dahannya yang kokoh. Dedaunannya bergemerisik merdu ditiup angin malam. Dan kudengarkan kau bercerita.

”Di sini ayah belajar tentang hidup. Di sini ayah belajar bahwa alam adalah saudara kita, dimana tanah dan langit selalu setia memeluk raga kita tanpa pernah lelah, meskipun terkadang kita menyakitinya.” Kau belai rerumputan di bawahmu dengan lembut, seolah membelai seorang adik. Kembali kulihat senyummu itu. Senyum yang pantas disandingkan dengan indahnya bulan di panggung malam.

“Dan ayahmu memberikannya untukmu?”

“Ya,“ matamu menatap lurus padaku, memenjarakanku dalam keteduhannya.

“Dulu aku pernah ke tempat ini. Dan langit malam yang terindah kutemukan saat itu.“

Wajahmu menengadah, matamu berlabuh jauh ke atas sana; ke langit malam yang seolah sengaja menghias diri secantik-cantiknya untukmu malam ini. Kau mendesah dan tahulah aku betapa kau merindukan wajah langit yang seperti itu.

“Dulu aku masih terlalu kecil, dan ayah tidak pernah mengizinkanku untuk datang ke sini lagi. Mungkin karena beliau tahu kalau dia memperbolehkan, aku akan datang pada malam hari, saat di mana ayah ingin aku aman di dalam rumah.“

Senyummu berubah menjadi tawa, mengalir dari bibirmu yang tulus berkata.

“Tapi sekarang tidak lagi. Ayah akhirnya memutuskan aku sudah cukup besar untuk mendaki kemari seorang diri. Dan aku sudah cukup besar untuk mulai belajar sepertinya.“

Matamu masih juga belum lepas dari wajah itu, menyusuri tiap kerlip bintang yang membalas senyummu. Aku di sana memandangimu. Hanya satu saja sisi wajahmu, tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku cemburu pada langit yang begitu kau cintai. Tapi aku tahu aku memiliki apa yang langit malam tidak miliki. 

Matahari pribadiku.

Lalu tiba-tiba kau menoleh dan kulihat semua sisi dari wajahmu.

“Ternyata benar, langit malam yang terindah ada di sini.“

Aku tersenyum menanggapi ungkapan cintamu pada malam.

“Syukurlah kau memiliki tempat ini.“

”Ya. Dan kau tahu?”

Kutemukan lagi senyum itu, yang mengungkapkan lebih banyak bahagia dari sebelumnya.

”Ini bahkan lebih indah dari saat itu. Karena kau menemaniku.”

Dan saat itu aku berharap matahari tak pernah terbit.

***

Aku bangkit dari dudukku, untuk berdiri lebih dekat denganmu, membungkuk untuk mengecup keningmu. Dan pada kau yang masih juga bercengkrama dengan mimpi, aku membisikkan dua kalimat yang sama seperti yang kuucapkan kemarin pagi. Dan kemarinnya lagi. Dan berpuluh-puluh kemarin yang lain.

”Selamat pagi. Aku merindukanmu.”

Matahari merayap semakin tinggi, dan kini ruanganmu terang benderang. Hanya ada aku di sana. Menggenggam erat tanganmu yang lemah, menemani tubuhmu yang rapuh. 

Aku masih berharap matahariku terbit.

***

”Kau tahu?”

Kuingat lagi saat itu, bertahun-tahun setelah bukit itu resmi menjadi milikmu. Malam masih juga berwajah manis, seperti malam-malam sebelumnya yang tak pernah kau lewatkan. Seperti juga aku yang tidak pernah melewatkan untuk bersamamu.

”Bulan tidak diperlakukan dengan adil.”

”Kenapa?”

”Tidakkah kau lihat? Bulan begitu cantiknya di atas sana. Dan dia tidak pernah tidak memberi terang saat malam tiba. Aku tahu cahaya bulan tidak seterang matahari, tapi cukup untuk menuntunku menemukan jalan pulang. Cukup untuk tetap memberi hidup pada malam. Tapi orang-orang selalu melewatkannya. Mereka mengganggap bulan hanya sebagai pendamping tidur di luar jendela mereka yang tertutup rapat oleh tirai. Dan bulan masih juga ada di sana tanpa mengeluh, terus menemani tidur mereka.”

Aku tersenyum. Pembelaan terhadap bulan hanya keluar dari mulutmu. Tapi yakinlah, aku tidak menganggapnya omong kosong. Tidak juga aku iri pada bulan, walaupun aku lebih suka matahari.

”Tidakkah kau berpikir matahari juga diperlakukan dengan tidak adil?”

”Kenapa?”

”Mataharilah yang disalahkan untuk setiap pagi yang terlalu dingin, dan siang yang terlalu melelahkan. Padahal matahari juga tidak pernah tidak memberikan semua cahaya yang dimilikinya, agar orang-orang dapat menemukan tujuannya. Matahari juga tidak pernah mengeluh, sekalipun harus membiarkan dirinya panas terbakar untuk dapat memberikan hidup pada pagi. Siapa yang tahu apakah panas itu menyakitinya atau tidak?”

Kau terdiam mendengarkanku bicara. Aku tahu kau selalu adil, bahkan pada bulan dan matahari.

Senyummu merekah.

”Temani aku melihat matahari terbit besok pagi,”

Aku tidak pernah bisa menolak permintaanmu. Aku mendaki bersamamu untuk melihat matahari terbit esok paginya. Dan beratus-ratus pagi setelahnya.

Aku tahu kau selalu adil.

Dan kecintaan pada matahari membuahkan sebuah permintaan baru.

***

”Kau tahu?”

Saat itu kita hampir dewasa. Dalam sekejap waktu kita akan menanggalkan kulit kepolosan dan keluguan yang kita miliki. Kita akan belajar tidak hanya di bukit itu, tapi juga di bukit-bukit yang lain.

”Matahari adalah pengabul permohonan yang baik,”

”Kenapa?”

”Selama ini bintanglah yang selalu jadi tempat permohonan. Mungkin karena bintang yang walau kecil namun berkilau di antara luasnya langit. Tapi sekarang aku sadar matahari juga bisa melakukannya. Bukankah matahari juga walau mungkin itu menyakitinya, ia tetap berjuang memancarkan sinar untuk melelehkan dinginnya pagi? Karenanya aku yakin matahari bisa mengabulkan permohonan kita.”

Di tanganmu tergenggam sebuah botol kaca. Bening, tampak rapuh. Tapi kau mempercayakan permohonan rahasia kita padanya. Kau yakin kaca itu akan menjaga baik-baik dua carik kertas berisi pesan kita pada matahari, saat kau menguburkannya di bawah pohon besar itu. Pohon yang selalu memayungi kita, dalam dinginnya malam saat bulan hadir dan dinginnya pagi saat matahari menyapa.

”Sejauh dan selama apa pun kau akan pergi, saat kau kembali dan tidak menemukanku di mana pun, cari aku di sini. Aku akan selalu ada, di bawah pohon ini, berdoa semoga matahari mendengar permohonanmu.”

Walaupun berat bagiku untuk meninggalkanmu saat itu, tapi aku tetap tersenyum. Menjawab iya saat merengkuhmu dalam pelukku. Dan aku bersumpah akan mendaki kembali ke tempat ini. Sejauh dan selama apa pun aku pergi.

Aku tahu kau selalu adil.

***

Tahukah kau matahari sudah merangkak sampai ke tempat tertingginya di langit? Tapi kau tidak juga bangun untuk menyapanya. Kau masih ingin membuatnya menanti, membuatku menanti. Tahukah kau betapa aku telah begitu merindukanmu? Aku telah kembali untukmu, tapi aku tidak bisa sepenuhnya memenuhi sumpahku. Aku tidak mendaki ke sana. Tidak tanpamu.

Aku kembali duduk, dan memulai hariku seperti berpuluh-puluh hari sebelumnya sejak aku kembali. Menanti senyummu dalam diam, membelai wajahmu dalam hening. Menggenggam erat tanganmu, tidak berdaya melawan ketidakberdayaanmu. 

Aku ingin matahariku terbit.

Adilkah bagi kami untuk terus menantimu menyapa kami lagi?

Terlalu mulukkah harapan itu?

Senja menghampiri, mengingatkan siang untuk kembali ke balik cakrawala, dan mempersiapkan singgasana langit untuk ditempati bulan. Bayang-bayang pucat itu telah berganti menjadi sapuan warna jingga yang remang. Wajahmu masih sepucat sebelumnya, dan tanganmu masih terasa dingin dalam genggamanku. Masih juga kau ingin aku menanti. 

Sampai sejauh mana kau hendak berkelana dalam mimpimu? Seindah apa tempat itu hingga pesonanya mampu membuatmu bertahan menjelajahinya? Seberapa rupawan wajah langit di sana hingga sanggup mencurimu dariku?

Aku memang tidak selalu adil. Tapi aku berusaha memenuhi sumpahku. Sumpah untuk kembali. Dan satu sumpah rahasia yang tak terkatakan. 

Sumpahku untuk mewujudkan permohonan di bawah pohon itu. Tak peduli matahari sudah mendengarnya atau tidak.

Senja terlelap dengan cepat.

Lihatlah. Bulan telah datang kembali. Tak bergeming dalam keanggunannya di antara tirai bintang, berusaha membisikimu dengan cahayanya yang samar-samar menyusup di antara bingkai jendelamu.

Lihatlah. Betapa malam selalu memberi senyum yang terindah bagimu. Betapa ia mencintaimu sebesar kau mencintainya. 

Dan aku tahu kau selalu adil.

Kau tidak akan membiarkan kami terus menanti. Kau tidak akan pernah bisa berkelana terlalu lama dan melewatkan bulan. Kau tidak akan menelantarkanku tanpa memberi jawaban.

Dalam tangis-tangis sunyi dan isak-isak lirih di sekelilingmu, akhirnya kau menjawab sapaku. Tidak dengan selamat pagi, tidak dengan selamat malam.

Sampai bertemu lagi.

Malam akhirnya menawanmu untuk selamanya. Menjadikanmu salah satu bintang yang mendampingi bulan.

Di sana kau berbaring dalam abadimu. Di bawah pohon itu. Di mana aku akan selalu bisa menemukanmu, sejauh dan selama apa pun aku pergi. Mungkin matahari tak pernah mendengar permohonanku. Tapi biarlah bumi menyampaikan yang tak terkatakan itu padamu.

Dia akan menjadi pengantinku di sini.

Selamat malam, matahariku. Aku merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar