Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Jumat, 25 Maret 2011

You Can

By Orinthia Lee


Tokyo, 15 Mei 1998

Pemuda jangkung itu berdiri bersandar pada gerbang Ryounan Koukou yang kokoh, kepalanya tertunduk, terlihat mengantuk. Surai kecoklatannya berkilau tertimpa sinar matahari yang hangat siang itu. Iris coklatnya bersembunyi di balik kelopak matanya yang tertutup. Perawakannya tinggi kurus, terlampau tinggi memang bagi anak seusianya. Membuatnya seringkali jadi pusat perhatian terlepas dari sikap konyolnya.
Sekolah telah usai, murid-murid berlarian keluar dari gerbang sekolah seolah ingin cepat-cepat pergi dari sana. Beberapa anak terlihat asyik mengobrol, merencanakan acara jalan-jalan sepulang sekolah. Beberapa anak terlihat lesu karena nilai ujian yang tidak terlalu bagus. Beberapa anak lain terlihat bergandengan tangan dengan senyum malu-malu terlukis di wajah mereka.
Pemuda jangkung itu tak bergeming dari tempatnya bersandar, seolah tak menyadari beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Seolah tak mendengar beberapa sapaan ramah dari gadis-gadis yang lewat di depannya. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sembari menunggu seseorang.
“Nao-kun. Maaf lama menunggu.”

Perlahan kelopaknya terbuka, memperlihatkan sepasang iris coklat yang tersembunyi di baliknya. Pemuda bernama Naoto Matsushima itu tersenyum. Seseorang yang dinantinya kini telah hadir di hadapannya, tersenyum lembut pada dirinya. Senyum yang selalu terbayang dalam benaknya selama satu bulan terakhir. Senyum yang selalu membuatnya merasa lebih baik saat perasaannya sedang dirundung awan gelap. Senyum milik seorang bidadari berambut keemasan yang begitu dicintainya—Nagisa berbeda dari gadis-gadis lain yang dikenalnya. Hanya Nagisa yang mampu membuka pintu hatinya yang tertutup rapat, membuatnya kembali menjejakkan kakinya sekali lagi ke bumi, menunjukkan pada dirinya bahwa hal-hal baik datang pada mereka yang mau menanti. Nagisa juga adalah salah satu hal baik yang datang padanya. Dan hari ini, Naoto hendak menyatakan perasaan yang telah lama dipendamnya.
Dia tak mampu lagi bersabar untuk menjadikan bidadari yang berdiri di hadapannya saat ini menjadi miliknya. Menjadi bidadarinya seorang.
Nagisa Tsukihara. Itulah nama yang dilabelkan pada bidadari di hadapannya yang kini menggandeng lengannya, menariknya dari sandarannya pada gerbang kokoh Ryounan Koukou. Naoto menurut dan melangkah di sisi sang bidadari. Keceriaan yang biasanya melekat padanya, siang itu seolah tenggelam ditelan aliran kegugupan yang mengalir deras dari lubuk hatinya yang terdalam.

Tell me I’m not on my own.
Tell me I won’t be alone.

Tungkainya terus melangkah sementara iris kembarnya tak mampu lepas dari wajah Nagisa, mengamati lekuk demi lekuk halus yang membentuk wajah seorang bidadari berambut emas yang telah merebut hatinya. Bidadari yang telah menyelamatkannya berulang kali dari keterpurukan. Bidadari yang mengenal dirinya bahkan lebih dari dirinya sendiri. Bidadari yang mampu menembus topeng joker yang selama ini selalu dikenakannya untuk menutupi kelemahan dan kekecewaannya. Oh, betapa pemuda jangkung itu begitu memujanya.

Tell me what I’m feeling isn’t some mistake.
‘Cause if anyone can make me fall in love, you can.

Dirinya tak pernah tahu bahwa dia akan bisa begitu menginginkan gadis di sampingnya itu. Menginginkannya menjadi hanya miliknya seorang. Berharap semoga perasaannya itu bukanlah sebuah kesalahan, berharap bahwa keputusannya hari ini takkan menjadi awal dari sesuatu yang menghancurkan sayap sang bidadari. Naoto tersenyum lembut saat Nagisa menatapnya, menembus ke dalam iris coklanya, mencari tahu apa gerangan yang membuat dirinya terdiam seribu bahasa dalam perjalanan pulang mereka.
“Kau baik-baik saja, kan? Nao-kun?”
Senyuman tipis dan anggukan ringan menjadi pengganti jawaban lisan darinya. Genggaman tangannya dipererat untuk meyakinkan sang bidadari bahwa dia baik-baik saja. Dia hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan segala asa yang dipendamnya sekian lama. Dibawanya Nagisa menuju sebuah kursi yang tersandar pada sebuah pohon sakura di tepi jalan setapak yang selalu mereka lalui untuk pulang ke rumah masing-masing. Naoto duduk setelah mempersilakan Nagisa untuk duduk terlebih dahulu. Iris coklatnya menatap ke langit, memanjatkan sebait permohonan dalam hati.
“Nao-kun, kau lelah? Yakin kau baik-baik saja?”
Perlahan, arah pandang matanya kembali lurus ke depan sebelum kemudian bergerak menatap sang bidadari di sampingnya yang menunjukkan ekspresi cemas. Sekali lagi Naoto hanya menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepala. Jemari tangan kanannya kini berada di pipi sang bidadari, mengelusnya lembut. Nagisa hanya menatapnya dengan wajah yang mulai bersemu kemerahan, sesekali mengerjapkan kedua matanya yang sehitam malam.

'Cause everything that brought me here.
Well, not it all seems so clear.
Baby, you're the one that I've been dreaming of.
If anyone can make me fall in love, you can.


“Be mine.”
Bidadarinya terdiam. Sebuah jeda yang membuat adrenalin dalam tubuh Naoto berpacu cepat. Beberapa saat kemudian, jemari sang bidadari perlahan merayap meraih jemari si anak laki-laki yang masih berada di pipinya—meremasnya pelan.
Iris eboni sang bidadari mulai berkaca-kaca sebelum kemudian meneteskan sebutir kristal cair yang bening dalam satu kedipan. Bidadarinya tak menjawab dengan kata-kata. Kedua lengannya dengan cepat melingkari leher Naoto yang menanti jawabannya, membuat dahi dan hidung mereka bersentuhan. Mata bertemu mata. Lama mereka bertatapan, seolah sedang mengirimkan dialog demi dialog yang tak mampu diungkapkan lewat kata sebelum akhirnya bibir mereka bertaut. Tak ada lagi yang perlu diucapkan. Bidadari itu kini telah menjadi bidadarinya.

This is where it all begins.
So tell me it will never end.


Inspired by You Can – David Archuletta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar