Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Rabu, 16 Maret 2011

Sang Nona Hujan

by Orinthia Lee
sebuah sekuel dari Sang Pencinta Hujan.


            Sebenarnya, hujan yang benar-benar kusukai itu bukan hujan yang jatuh turun dari langit; tapi kamu.

---

            Hari itu, saat hujan turun dengan derasnya di sekolah, aku belum menyukai hujan. Aku hanya seorang remaja lelaki biasa yang punya mimpi menjadi musisi hebat kelak dengan kemampuanku bermain gitar dan suara yang lumayan enak didengar. Sebelum aku pindah ke sekolah itu, sekolah tempat aku bertemu denganmu, aku punya band dengan teman-teman di sekolahku yang lama. Band yang cukup populer di kotaku.
            Aku disukai murid-murid perempuan, disukai para guru dan juga anak-anak. Masa depanku cerah. Audisi terakhir band kami disukai oleh salah satu produser musik dan beberapa hari sebelum penandatanganan kontrak, aku jatuh sakit.
            Bukan sakit biasa. Aku divonis menderita kanker langka. Dokter dengan mudahnya mengatakan bahwa usiaku takkan lama. Waktu yang kumiliki paling lama 6 bulan. Tak ada yang bisa kuperjuangkan. Dokter tak berani melakukan apa-apa untuk mengobati kankerku tanpa berkata bahwa pertaruhan yang aku buat hanya akan berbuah kesia-siaan dan bahwa aku sebaiknya menikmati sisa hidupku sebaik-baiknya.
            Lalu aku memaksa orangtuaku untuk pindah. Pindah ke kota dimana tak seorang pun mengenalku. Pindah ke sekolah yang baru. Semata-mata karena aku benci tatapan mengasihani dari teman-teman lamaku.
            Dan siang itu, ketika hujan turun dengan deras, aku sedang menangisi nasibku. Bahkan aku sedang berpikir untuk mengakhiri hidupku hari itu juga. Aku merasa tak berdaya. Untuk apa sisa 6 bulan itu ada jika isinya hanya rasa takut dan kekosongan belaka, pikirku saat itu.
            Lalu kamu datang.
            Kamu menyapaku, bertanya mengapa aku tak berteduh. Aku tahu kamu mengamatiku. Aku tahu mungkin kamu merasa aku aneh karena bernyanyi di tengah hujan. Kamu tahu? Nyanyianku itu adalah doa. Ketika tetes-tetes air itu berjatuhan di wajahku, aku merasa itu adalah jawaban Tuhan atas doaku.
            Sejak itu, bagiku hujan adalah pembawa keberuntungan. Pertama, hujan menyembunyikan air mataku hingga saat aku menatapmu, aku tak perlu takut kau melihatku menangis. Kedua, hujan selalu membawamu kepadaku—sang nona hujan—yang selalu berhasil menciptakan senyum di wajahku. Ketiga, nona hujan—kamu—membuatku menghargai sisa kehidupanku.

            Ada satu waktu di mana hujan memberiku keberanian untuk bergerak. Walau dalam hati aku takut jika perasaanku bisa membuatmu menderita karena waktuku yang tak lama, hujan membuatku berani mengungkapkan bahwa kamu adalah salah satu keberuntungan yang diberikan hujan untukku. Tidak, kamulah keberuntungan itu. Lalu aku menciummu dan kamu marah. Dengan bodohnya aku kehilangan keberanianku dan membuatmu terluka.
            Saat itu, aku mengejarmu. Mengejarmu karena takut kau hilang dariku. Tapi aku terjatuh. Tubuhku sudah semakin lemah dan aku tak berdaya melawan. Namun begitu aku tersadar kembali, aku berlari lagi, membawakan tas sekolah yang kamu tinggalkan ke rumahmu. Aku tak memedulikan penyakitku karena aku ingin kamu segera tersenyum kembali. Kemudian hujan turun, meyakinkan aku bahwa kamu pasti akan memaafkan aku.
            Keyakinanku sudah bulat hingga aku rela menunggumu di taman itu. Duduk di atas bangku batu yang terasa semakin dingin di kulitku, diterpa hujan dan angin yang membuat tubuhku merintih sakit. Aku terus menunggumu hingga berjam-jam lamanya.
            Hujan selalu memberi keberuntungan bagiku walau aku tahu nyawaku yang jadi taruhannya. Lalu akhirnya ketika waktu semakin dekat mendatangiku, suaramu terdengar di tengah kerasnya gemuruh hujan. Kamu benar-benar datang. Kamu memaafkan aku. Kamu bahkan mengaku menyukaiku. Hujan memang selalu memberiku keberuntungan.
            Sayang, waktuku hanya sedikit. Aku hanya bisa memintamu mengenangku tiap kali hujan turun. Karena dengan begitu, aku akan selalu ada di hatimu, menemanimu.
            Nina, nona hujanku, keberuntungan terbesarku adalah pertemuanku denganmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar