Kota Cerita adalah sebuah BOOK PUBLISHER indie yang menyediakan jasa untuk para penulis muda yang ingin menerbitkan bukunya. Kota Cerita akan mengurus hal-hal sebelum penerbitan dilakukan seperti desain cover, desain layout bagian dalam buku, desain ilustrasi sampai ke editing naskahmu.

Pertanyaan bisa diajukan ke kotacerita@gmail.com dan follow twitter kami!

Jumat, 29 April 2011

Alana, si Anak Hujan

by Orinthia Lee

Derasnya hujan selalu menjadi pemanggilmu
Tiba waktunya bagimu ‘tuk keluar dari perlindunganmu
Membawa payung usang menjajakan jasa
Demi sesuap nasi dan biaya sekolah


            Alana, hei, Alana. Setiap pagi kamu selalu bangun dengan semangat baru. Seulas senyummu menjadi cahaya dalam gelapnya hati ibumu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Di rumah sempit satu ruang itu kamu tinggal bersama ibu dan kelima adikmu yang masih kecil-kecil, sungguh aku iba melihatnya. Kamu baru beranjak 11 tahun, masih duduk di bangku kelas 4 SD karena terlambat masuk sekolah tapi kamu sudah menjadi tulang punggung bagi keluargamu yang tak lagi memiliki kepala keluarga.
            Aku heran, tak sekalipun segelintir keluhan pernah lolos dari bibir mungilmu meski tiap hari kamu harus mencari nafkah, mencari-cari uang dengan belas kasihan orang saat matahari bersinar begitu terik di langit sana bersama teman-teman yang senasib. Tak jarang kamu memunguti sampah-sampah di jalan untuk kemudian dijual kembali. Hasilnya tak seberapa hingga kadang kamu harus berkorban tak makan agar ibu dan adik-adikmu dikenyangkan. Hatimu sungguh mulia.

         Hari ini aku mengamatimu lebih seksama, mengikutimu sejak kamu membuka matamu. Kamu mengernyit saat mengangkat tubuh kurusmu untuk duduk. Kepalamu terasa sakit dan kamu merasakan tubuhmu tidak sehat. Ibumu sempat bertanya soal pucatnya wajahmu tapi Alana, kamu tetap tersenyum dan berkata, “Tak apa-apa, Bu. Hanya sedikit mimpi tentang ayah.”
            Lalu kudengar ibumu bercerita bahwa hari ini ia ingin kamu mencari uang lebih banyak dari biasanya. Besok, penagih hutang akan datang menagih cicilan bulanan dari hutang yang ditinggalkan ayahmu yang sudah tiada, mati bunuh diri karena menyerah pada kerasnya kehidupan. Kamu mengangguk dan berjanji akan bekerja lebih giat lalu meminta ibumu untuk berdoa supaya hujan turun siang ini.
            Kamu pun pergi mandi, mengabaikan sakit kepala yang berdentum-dentum memukuli kepalamu dari dalam. Sarapan tak kamu habiskan dengan dalih adik masih lapar, padahal sebenarnya kamu sedang tidak berselera. Sebelum kamu pergi mencari uang, kamu membiarkan ibumu menyisiri rambutmu dan mengepangnya rapi meski biasanya kamu membiarkan saja rambut panjangmu tergerai berantakan. Hari ini berbeda. Kamu ingin ibu senang. Hasilnya, kamu terlihat sangat manis hari ini, ibumu pun senang karena merasa telah menjadi ibu yang baik.
            Aku mengikutimu dari belakang, turut berjalan bersamamu hari ini. Kulihat kamu berjalan dengan langkah-langkah pendek, keringat dingin mengucur dari pelipismu. Di tangan kananmu, sebuah payung hitam besar terseret-seret ujungnya meninggalkan bekas di tanah. Aku tahu, kamu menunggu hujan turun hari ini.
            Alana, kamu kelelahan. Wajahmu yang kurus itu semakin pucat hingga akhirnya kamu memutuskan untuk beristirahat sejenak dan duduk di depan sebuah toko makanan. Kamu nyaris tertidur ketika langit tiba-tiba bergemuruh dan gerimis mulai turun. Orang-orang di sekitarmu mulai panik, berlarian dari jalan mencari tempat untuk berteduh. Pengendara-pengendara motor memarkirkan motor mereka di pinggir jalan ketika hujan semakin deras. Dan kamu memaksakan dirimu berdiri, senyum lebar menghiasi wajahmu yang pucat.
            Tubuh kecilmu menggigil kedinginan ketika kamu menyodorkan payung usangmu pada seorang wanita tua. Kamu ditolak tapi kamu tak menyerah, kamu hampiri lagi seorang pria tinggi besar yang terlihat kaya, pria itu menerima uluran payungmu lalu kamu pun berjalan di belakangnya sampai pria itu sampai pada tujuannya. Gemetar tubuhmu tak tertahankan tapi kamu masih belum menyerah, uang yang terkumpul masih belum cukup untuk besok. Sekali lagi kamu kembali ke tempat ramai menjajakan payung usangmu.
            Di hatimu, kamu menyemangati dirimu sendiri untuk tidak menyerah pada keadaan, untuk tidak berhenti berjuang. Berjuanglah, Alana. Berjuanglah.
            “Payungnya, Om… payungnya, Tante…” suara kecilmu melengking mengalahkan deru hujan, tak berhenti menawarkan jasamu pada orang-orang yang kehujanan. Demammu semakin tinggi tapi kamu tak peduli. Pikirmu, sudah terlanjur basah maka lanjutkan saja.
            Jadi di sanalah kamu, pantang menyerah menjajakan jasa pada orang-orang yang tak memandangmu. Beberapa orang dengan kasar mendorongmu menjauh, beberapa orang hanya melemparkan senyum iba tanpa sedikit pun niat menolong, sementara yang lain hanya berlalu begitu saja tanpa berniat menoleh ke arahmu.
            Kamu tak menyerah, kamu keras kepala. Hingga akhirnya kamu terjatuh karena kedua kaki kurusmu lemas. Suhu tubuhmu meninggi dan kamu merasa nyaris kehilangan kesadaran ketika seorang pria tua dengan pakaian kumal mengangkatmu berdiri, menanyakan keadaanmu.
            “Saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih,” kamu mengujar dengan suara serak yang lemah, mohon diri dan mengangkat kembali payungmu saat ada dua orang gadis remaja meminta jasamu. Sekali lagi kamu berjalan dengan kaki telanjang di bawah derasnya hujan. Kakimu kotor karena tanah basah, tubuhmu menggigil hebat. Tak ada yang peduli. Orang-orang berpikir, biasalah ojek payung semua juga basah kuyup.
            Kamu berjalan sambil menahan sakit kepala yang semakin mengganggu, sesekali kamu ketinggalan langkah oleh pelanggan mudamu. Kamu berlari mengejar pelangganmu yang telah berada di seberang jalan, tak mampu berteriak untuk meminta pelangganmu berjalan lebih lambat. Apa daya, kamu hanya seorang pengojek payung. Momen berikutnya, sebuah mobil melaju cepat, kamu melanggar lampu merah. Suara benturan membahana berlanjut dengan suara klakson mobil bertubi-tubi dan suara jeritan pejalan kaki mengalahkan deru hujan. Tubuh kecilmu terlempar ke udara lalu terjatuh keras ke aspal dengan mulut penuh darah.
            Alana, malang nasibmu… ajal menjemput tanpa permisi ketika kuayunkan sabit kematian. Polisi berdatangan, ambulans membawamu pergi. Kamu sudah tak bernyawa saat ibumu datang ke rumah sakit. Teriakan tangis ibumu tak lagi bisa kamu dengar, kamu sudah ada dalam pelukanku sekarang. Aman, tak lagi merasakan kesakitan.

            Kehidupan memang kadang tak adil. Maafkan aku karena sudah tugasku menjemputmu, Alana.

            Aku, Sang Malaikat Kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar